Enter your keyword

KA Bandara Soekarno-Hatta: 1 + 1 = 0 atau = 1/2

Harun al-Rasyid Lubis

Jakarta – Wakil presiden, menteri perhubungan dan direktur jenderal kereta api boleh berganti-ganti, tetapi satu yang tetap konsisten, Kereta Api Bandara Soekarno-Hatta tidak terealisasi! Konon sesuai kajian tahun 80-an, trase jalan tol Sedyatmo ide awalnya direncanakan untuk trek sepur alias kereta api. Nyatanya, jalan tol Sedyatmo terbangun lebih dulu.

Kereta api tersalip untuk yang pertama kali! Sejak 2002, ketika banjir besar beberapa kali melanda bandara dan jalan tol, wacana membangun kereta api menuju Bandara Soekarno-Hatta sebagai alternatif jalan tol meluncur dengan kencang.

Tahun 2003, PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan Pemerintah ketika itu Direktorat Perkeretaapian, Direktorat Jenderal Hubungan Darat, menyiapkan kajian. Terpilihlah jalur kereta api, Stasiun Manggarai-Dukuh Atas-Tanah Abang-Duri membelok ke kiri via rel Tangerang dan menambah jalur baru sepanjang delapan kilometer ke utara di sekitar Kali Deres menuju bandara. Total sepanjang 30,3 kilometer, dengan nilai investasi Rp 2,2 triliun, termasuk membangun jalur ganda dari Duri.

Tak lama berselang, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mendeklarasikan bahwa jalan Kereta Api Bandara harus dibangun oleh bangsa sendiri. Pada 2005, kemudian didirikan anak perusahaan patungan PT Kereta Api dengan PT Angkasa Pura II, sebagai pemrakarsa proyek, yaitu PT Raillink. Trase awal yang melintas Tangerang tanpa sepengetahuan Pemerintahan di Banten, berpindah menjadi melintas ke utara hingga Stasiun Angke, dan menyusur di tepian jalan tol menuju bandara, total sepanjang 33
kilometer, nilai investasi Rp 4,7 triliun, konstruksinya dedicated-elevated track.

Atas permintaan Gubernur Daerah Khusus Ibukota, trase ini dibelokkan sedikit agar melintas kawasan baru Pluit Junction, yang dikembangkan Badan Usaha Milik Daerah PT Jakarta Propertindo. Tarik menarik penetapan koridor, menggambarkan betapa tingginya nilai politis Kereta Api Bandara, di mana pada saat studi kelayakan bila tidak hati-hati resiko proyek dapat dialihkan ke tahap lanjutan konstruksi tetapi ditanggung pihak lain.

Berdasar dokumen kajian sebelumnya, akhirnya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional baru-baru ini melalui fasilitas PDF ADB memperkirakan nilai investasi membengkak menjadi Rp 10 triliun, termasuk Rp 1,5 triliun untuk pembebasan lahan hutan mangrove sepanjang jalan tol.

1+1=0 atau 1+1=1/2

Dengan kesimpangsiuran dan ketidaklengkapan persiapan ini, rencana Kereta Api Bandara yang terakhir diartikulasi oleh Kementerian Perhubungan menyebutkan bahwa dua trase rencana akan dicoba direalisasi. Pertama, campuran operasi Kereta Api Jabodetabek, dengan membangun track baru tujuh kilometer di atas tanah dari lintas Tangerang, bernilai Rp 150 miliar.

Kedua, dedicated-elevated track dari Manggarai, Dukuh Atas kemudian melalui lintas utara Angke-Pluit dengan nilai Rp 10 triliun atau lebih. Ada keragu-raguan dan ketidaktegasan fokus tentang fungi KA Bandara yang diinginkan, apakah sebagai Kereta Api Bandara murni (dedicated), Kereta Api perkotaan, atau campuran dari keduanya.

Seberapa besar peluang kedua trase ini terealisasi, ada dua kemungkinan. Pertama, menurut pengalaman bila ada rencana dua koridor Kereta Api berkompetisi maka tidak satupun bisa terealisasi, 1 + 1 = 0. Membuat operasi Kereta Api Bandara bercampur dengan Kereta Api Jabodetabek sangatlah riskan menimbulkan tundaan, dan rawan bagi calon penumpang pesawat, akhirnya serba tanggung, setengah-setengah (1 + 1 = 1/2).

Sejak PT Raillink menyiapkan trase dan perizinan Kereta Api Bandara, saat yang sama ide peninggian dan penambahan lajur jalan tol Sedyatmo digulirkan Kementerian Pekerjaan Umum. PT Jasa Marga dengan sigap menanggapi peluang. Lajur Tol Sedyatmo pun bertambah dan permukaannya ditinggikan dua meter. Kereta Api disalip untuk yang kedua kali!

Nasib, nasib, begitulah nasib anak tiri bernama kereta api, ditambah insan kereta api dalam merencana, mengemas proyek, serta melobi tidak selihai yang dilakukan insan jalan (tol).

Penyelenggaraan KPS

Sejak Infrastructure Summit 2006, semasa Menteri Perhubungan Hatta Rajasa, proyek Kereta Api Bandara sudah masuk daftar proyek Kerja Sama Pemerintah Swasta (KPS) dengan kemasan yang tidak jelas. Hampir bersamaan waktunya PT Raillink mendapat arahan dari kantor Wakil Presiden ketika itu untuk membangun akses kereta api ke bandara baru Kuala Namu, Medan.

Berbeda dengan Kereta Api Bandara Soekarno-Hatta, proyek di Kuala Namu dipastikan tuntas terlaksana oleh PT KAI, dengan membangun lintas cabang sepanjang 4,8 kilometer dari lintas kereta api terdekat menuju bandara. Mengapa Kereta Api Bandara Soekarno-Hatta percabangan sepanjang tujuh kilometer dari lintas Kereta Api Tangerang belum selesai? Pasalnya, debat teknis tentang fungsi dan spesifikasi Kereta Api Bandara tidak pernah tuntas. Apakah modus Kereta Api Bandara adalah kereta api perkotaan sehinga menjadi domain Pemda DKI atau sebagai national interest, yakni domain pemerintah pusat, atau campuran dari keduanya?

Setiap modus berbeda distribusi manfaatnya (beneficiaries), ada konsekuensi cost sharing yang berbeda pula, termasuk peran dan keterlibatan PT Angkasa Pura II sebagai beneficiary utama. Dengan agenda pembangunan Mass Rapid Transit (DKI) dan peningkatan kapasitas KA Jabodetabek (PT KAI) yang tengah berlangsung, menetapkan akses rel ke bandara harus didudukkan secara pas dalam rencana induk perkeretaapian.

Hingga terbit Peraturan Presiden 13/2010 sebagai revisi Perpres 67/ 2005 tentang KPS untuk pegembangan infrastruktur, hingga kini tahap pra-kualifikasi sudah berhasil menjaring tiga calon penawar, satu dari lokal yaitu PT Raillink, dan dua calon lainnya adalah asing. Namun tender lanjutan terus tertunda. PT Raillink yang diarahkan untuk lebih dulu berlari, nyaris digaris finish dipaksa berhenti. Tidak berlaku, karena harus lewat tender KPS!

Bahkan status sebagai pemrakarsa sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden 13/2010 menjadi kabur. Alih-alih karena proses tender tidak menentu dan terus berzig-zag, Pemerintah membenahi governance KPS, di mana Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) didudukkan sebagai front office untuk market sounding dan pendampingan transaksi hingga financial closing, sementara lembaga terkait lain tetap mendukung di belakang menyiapkan proyek. BKPM harus outside the box, menjadi looping improvement!

Apakah reposisi BKPM ini akan meningkatkan peluang percepatan eksekusi dan membaiknya governance KPS? Penulis sungguh meragukan hal ini terjadi. Terkecuali BKPM mau bertindak outside the box, menjadi looping atau feed back bagi peningkatan kualitas proses KPS serta diperkuat kapasitas lembaga BKPM untuk penyelenggaraan KPS.

Berita terakhir kajian Kereta Api Bandara akan diulang dari nol dengan melibatkan lembaga pembiayaan infrastruktur PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). Dalam penjelasan resmi dari birokrasi atau penjabat yang berwenang juga persepsi kalangan investor, mandegnya disebabkan empat hal.

Pertama, persiapan (planning) proyek yang tidak matang, kedua formulasi dukungan pemerintah (government support) tidak jelas, ketiga regulasi yang belum lengkap, serta keempat hambatan kemampuan finansial di sisi pengembang penerima lisensi.
Menurut penulis bukan hanya itu, alasan yang lebih mendasar adalah memang kerjasama pemerintah-swasta kita masih sangat rapuh (rawan risiko) serta sulitnya berkordinasi antarlembaga.

Dalam enam tahun terakhir, pengembangan koordinasi kelembagaan KPS, pembentukan komite ataupun tim nasional, penyelenggaraan forum infrastructure summit, pembenahan regulasi sudah berulang kali dilakukan. Semuanya terbukti tidak efektif, infrastruktur transportasi belum pernah ada yang finansial closed.

Sumber daya sudah terserap untuk memacu dan memicu percepatan pembangunan infrastruktur, perkembangan sosio-psikologis pemberantasan korupsi membuat birokrasi cenderung defensive-avoidance, semua menunggu saat mana inovasi dan tindakan sangat dinanti-nantikan. Di India prosedur KPS dipisahkan dari pengadaan barang publik pada umumnya, ada auditor dan engineer independent khusus dilibatkan saat pemeriksaan (due diligence).

Penutup

Saat ini, jumlah penumpang yang menggunakan jasa penerbangan melalui Bandara Soekarno-Hatta lebih dari 43 juta orang. Dengan pertumbuhan jumlah penumpang rata-rata 11 persen per tahun, ini berpotensi menjadi 65 juta orang dalam lima tahun ke depan.

Bila ada fasilitasi railink yang layanannya dapat diandalkan, sebut saja 30 menit, 25% pengguna pesawat bisa tertangkap menggunakan jalan rel. Keputusan tingkatan tarif, bisa dikompensasi dengan masa konsesi. Namun dengan berubahnya kompetisi moda di koridor transportasi menuju bandara Soekarno-Hatta, agaknya BKPM sebagai looping improvement harus bertanya kembali sebelum mengulang kembali studi kelayakan Kereta Api Bandara.

Apa sebenarnya tujuan terfokus dan fungsi Kereta Api Bandara yang diinginkan pemerintah, serta apa tujuan penerapan skim Kerja Sama Pemerintah-Swasta? Konsensus tingkat tinggi ini harus terjadi sejenak di ruang tertutup dipimpin langsung oleh presiden, tidak cukup lewat fasilitasi Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan wakil presiden, seperti sudah berulangkali
dilakukan, ini tak pernah jalan seperti ketika era Wakil Presiden Jusuf Kalla yang terkenal agressif itu.

Apapun modusnya ada tiga hal, ditambah satu hal yang harus senantiasa terpenuhi.
Pertama, kualitas produk dan pelayanan Kereta Api Bandara akan terjamin berkesinambungan. Kedua, nilai investasi dan tarif kereta api kompetitif dengan pemanfaatan sumber daya dan fasilitas publik secara efisien. Ketiga, tingkat pengembalian investor swasta wajar. Dan satu lagi, kalangan profesional nasional bukan cuma jadi penonton!

Harun al-Rasyid Lubis, Associate Professor, Transportation Research Group, ITB.

sumber : Detik -News