Enter your keyword

Musuh-musuh Jalan Raya

DAHONO FITRIANTO

Mengapa jalan raya di Indonesia selalu rusak? Kata ”selalu” perlu ditekankan, karena di negeri ini hampir tak pernah ada hari tanpa berjalan melewati jalan yang sudah benjol-benjol atau berlubang-lubang.

Sebelum kebanyakan menggerutu soal rusaknya jalan, marilah kita sadari dulu dua fakta mendasar tentang jalan. Menurut pakar rekayasa transportasi dari Institut Teknologi Bandung, Ade Sjafruddin PhD, sehebat-hebatnya konstruksi jalan yang dibangun di dunia ini tetap memiliki dua batasan utama, yakni beban yang melewatinya dan umur pakai.

Jadi, memang jangan mengharapkan jalan raya—yang pembangunannya sebagian dibiayai dengan pajak dari rakyat—akan selamanya mulus. Jika kita sering membawa muatan yang melebihi batas maksimal kemampuan jalan, jalan dipastikan akan cepat rusak.

Akan tetapi, jika jalan raya kemudian sudah rusak sebelum batas usia pakai yang dirancang sebelumnya, atau truk-truk yang muatannya berlebihan dibiarkan lalu lalang tiap hari di jalanan pasti ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan jalan di negeri ini.

Tiga faktor

Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Dr Ir Bambang Susantono menyebutkan, tiga faktor utama yang menyebabkan kerusakan jalan adalah mutu pelaksanaan konstruksi jalan, kondisi drainase permukaan jalan dan daerah sekitarnya, dan kelebihan beban pemakai jalan. ”Overloading terjadi secara kasat mata di setiap lintas utama, seperti lintas timur Sumatera dan pantai utara (pantura) Jawa, karena tidak efektifnya fungsi jembatan timbang,” ungkap Bambang.

Ade menambahkan, batas beban muatan yang bisa ditoleransi konstruksi jalan raya ditentukan dengan angka muatan sumbu terberat (MST). MST tertinggi untuk jalanan berkualitas paling bagus di Indonesia adalah 10-12 ton.

Artinya kira-kira, setiap sumbu (as) roda kendaraan maksimal hanya boleh ”membawa” beban 10-12 ton. ”Kenyataannya, banyak truk yang muatannya jauh di atas MST itu,” ujar Ade.

Padahal, secara teori, peluang rusaknya jalan adalah pangkat empat dari besarnya kenaikan beban. Jadi, jika beban muatan naik dua kali lipat, maka peluang kerusakan jalan meningkat menjadi 16 kali lipat.

Faktor drainase dapat dijelaskan dengan pemahaman bahwa air adalah musuh utama lapisan aspal jalan raya. Air yang menggenang di permukaan jalan dalam waktu lama akan membuat air meresap ke pori-pori jalan dan merusak ikatan komponen aspal dan melemahkan pondasi jalan. ”Yang lebih tahan air apabila jalan dibeton. Meski begitu, air yang menggenang akan merusak lapisan tanah di bawah beton,” papar Ade.

Maka, saat sistem penyaluran dan pembuangan air tak berfungsi dengan baik (salurannya tersumbat sampah, atau saluran airnya ”lupa” dibikin), air akan menggenang dan merusak jalan. Itu sebabnya, saat musim hujan seperti sekarang ini, kerusakan jalan tambah menjadi-jadi. ”Dari segi apa pun, jalan memang tak boleh digenangi air. Selain merusak aspal, juga berkaitan dengan keselamatan berkendara. Jalan harus dirancang bebas genangan,” imbuh lulusan Technical University Denmark itu.

Direktur Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, Hermanto Dardak, mengatakan, kerusakan parah jalan di ruas pantura Jawa Tengah, antara Semarang-Demak dan Pati-Rembang, disebabkan oleh buruknya drainase itu. ”Di jalur Pati-Rembang, drainase air di samping jalan tak berfungsi dengan baik karena ditutup penduduk,” ungkapnya.

”Nakal”

Faktor ketiga adalah kualitas pelaksanaan konstruksi jalan. Dardak mengakui, tender untuk pembangunan, pemeliharaan, dan perbaikan jalan biasanya dimenangi oleh kontraktor yang memberikan penawaran harga terendah. Menurut dia, harga rendah ini yang memungkinkan kontrak tersebut ”nakal”. ”Ini yang tidak kita harapkan, pemenang tender membangun jalan tak sesuai spesifikasi yang sudah ditetapkan,” tutur Dardak.

Namun, simak penuturan seorang kontraktor yang sudah beberapa kali ikut penawaran tender pemeliharaan dan perbaikan jalan di Jawa Tengah. Menurut kontraktor yang berbasis di Semarang tersebut, belum tentu yang memberi penawaran harga terendah menjadi pemenang tender. ”Kadang-kadang yang nakal itu justru yang memasang harga tinggi, karena uangnya digunakan untuk ngopeni (memelihara) pihak-pihak yang berkepentingan dalam proyek tersebut. Dan biasanya yang seperti itu yang dimenangkan,” ujar kontraktor yang minta identitasnya dirahasiakan ini.

Ia juga menyebutkan berbagai modus kontraktor ”mengakali” spesifikasi yang ditetapkan pemerintah, untuk memperoleh laba sebesar mungkin. ”Namanya optimasi. Misalnya, pakai aspal dari Thailand yang harganya lebih murah dibanding aspal Pertamina. Sebenarnya itu enggak nyalahin spek, tetapi kadang optimasinya kebablasan. Sudah pakai aspal Thailand, lapisannya lebih tipis pula,” imbuhnya…………….

(ILHAM KHOIRI/ PINGKAN ELITA DUNDU, [Kompas, Minggu, 30 Maret 2008]