Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri : Pelopor Insinerator Perguruan Tinggi di Indonesia
BANDUNG, itb.ac.id – Sampah selalu menjadi bagian salah satu masalah suatu negara termasuk Indonesia. Namun ketertarikan untuk menyelesaikan masalah persampahan mungkin hanya dilakukan oleh segelintir orang saja. Salah satu diantaranya adalah Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri yang merupakan Ketua Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB.
Beliau merupakan pelopor berdirinya Laboratorium Persampahan (sekarang Laboratorium Buangan Padat dan B3) di pojok Sasana Budaya Ganesha ITB (Sabuga ITB). Laboratorium tersebut merupakan laboratorium dan Pusat Pengelolaan Sampah (PPS) pertama dan satu-satunya di Indonesia dalam skala perguruan tinggi negeri. Berkat adanya PPS tersebut, ITB dapat mengelola sampahnya sendiri dan tidak bergantung pada Dinas Kebersihan.
Teknologi Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah di Indonesia menurut Enri masih berada di tingkat dasar. Masyarakat cenderung cukup puas melihat hasil buangannya selesai di angkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Padahal, sampah yang ada di TPA masih perlu diolah kembali. Penerapan teknologi pada pengolahan sampah juga masih menjadi pekerjaan rumah. “Indonesia belum punya teknologi untuk mengelola sampah,” ujar Enri (via Enviro).
Berkaca pada pengelolaan sampah di ITB, teknologi yang digunakan sudah lebih baik. PPS ITB memiliki teknologi insinerator (tempat pembakaran sampah). Namun, insinerator PPS ITB belum bisa dikatakan ramah lingkungan karena belum memiliki komponen pengendalian udara hasil pembakaran. Komponen pengendalian udara biasanya memiliki harga yang lebih mahal daripada insineratornya sendiri. Menurutnya, ada beberapa negara seperti Singapura dan Jepang yang telah memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik. Singapura telah memiliki empat insinerator lengkap dengan pengendalian pencemaran udara dan efisiensi yang tinggi.
Menurutnya, Indonesia bisa saja mengikuti jejak kedua negara tersebut asal dana yang dikeluarkan sanggup untuk membangun insinerator. Sebagai perbandingan,pengelolaan sampah di Kota Bandung memerlukan biaya Rp 30.000,00- Rp 35.000,00 per ton sampah. Di Jakarta pengelolaan sampah menghabiskan biaya Rp 110.000,00 per ton tanpa ongkos transportasi. Biaya pengelolaan sampah di Singapura dengan insinerator sebesar Rp 600.000,00 per ton sampah. Sedangkan, Kota Bandung saja menghasilkan sekitar 1.750 ton sampah per hari. Maka untuk mengelola sampah di Kota Bandung sehari saja sudah memakan biaya yang sangat besar.
Ubah Perilaku
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah yang sedang marak dibicarakan akhir-akhir ini, menurutnya bukanlah hal yang baru. Sampah bisa menjadi sumber energi dari hasil proses pembakaran. Konsep ini dikenal dengan waste to energy.
“Teknologi pengolahan sampah itu sebenarnya banyak sekali, dari mulai paling murah sampai paling mahal. Yang sulit adalah mengubah perilaku manusianya,” tukasnya. Perilaku yang dimaksud adalah perilaku seenaknya dalam mengelola sampah atau bahkan membuang sampah sembarangan.
Saat ini, selain mengajar Enri juga membuat berbagai standar untuk TPA dan proses pengelolaan sampah. Beberapa di antaranya bahkan digunakan secara internasional. “Cita-cita saya, di Bandung ada instalasi pengelolaan sampah yang benar-benar bagus,” harapnya.
sumber : http://www.itb.ac.id/news/4018.xhtml